Sebenarnya tidak ada hubungan antara wisuda dengan resepsi pernikahan. Kalaupun ada, karena wisuda sering dijadikan alasan mahasiswa menunda pernikahan. Lalu setelah wisuda, mereka mulai serius merencanakan jenjang pernikahan.
Esensinya, wisuda sama saja dengan resepsi pernikahan, hanya acara serimonial untuk mengumumkan keberhasilan. Namun bagi banyak orang, wisuda dan resepsi pernikahan sangat dispesialkan, sehingga perlu ada “keheboan” menjelang dan pada pelaksanaan. Bagi mereka, makin meriah acara kian memberi kebanggaan. Padahal resepsi pernikahan tidak berdampak pada sahnya perkawinan. Jika ijab qabul atau ikrar perkawinan sudah dilaksanakan maka sah juga pernikahan, ada atau tanpa resepsi yang diselenggarakan. Begitu juga dengan wisuda, acara tersebut tidak memberi dampak pada gelar kesarjanaan. Ada atau tanpa acara wisuda, bila sudah lulus semua matakuliah maka gelar sarjana sudah di tangan.
Lalu apakah wisuda perlu kemewahan? Tergantung keinginan dan kemampuan mereka yang menyelenggarakan. Seperti halnya perkawinan, ada yang cukup mengundang tetangga, kerabat, dan handai tolan, tapi banyak juga yang menyenggarakan pesta meriah dengan biaya miliaran di resort bahkan di kapal pesiar mewah.
Wisuda juga begitu. Ada perguruan tinggi yang wisudanya sederhana. Contohnya IISIP Jakarta yang merasa cukup menyelenggarakan wisuda di Kampus Tercinta saja. Wisudawan hanya mengenakan batik dan wisudawati mengenakan kebaya, lalu Senat Akademika perguruan tersebut semuanya berbatik ria. Begitu juga dengan Balai Pendidikan dan Pelatihan Penerbangan (BP3) Banyuwangi. Mereka melaksanakan wisuda menggunakan Adat Using, adat yang dianut masyarakat Banyuwangi.
Namun banyak juga perguruan tinggi menyelenggarakan wisuda mewah, lengkap dengan segala atribut kebanggaan dan serimonial meriah. Tak ada yang salah dengan kemewahan, asalkan para wisudawan tidak keberatan atas biaya yang harus dikeluarkan. Toh acara tersebut untuk mereka juga, yang bisa mengukir kenangan mendalam bagi mereka sebagai wisudawan.
Penggunaan atribut toga juga penuh dengan perlambang. Jubah hitam menandakan bahwa wisudawan telah keluar dari dunia kegelapan dan cukup bekal dalam menyongsong masa depan gemilang. Topi persegi melambangkan bahwa sebagai sarjana mereka tidak akan menggunakan ‘kacamata kuda” dalam merlihat persoalan. Dia harus membuka diri pada berbagai sudut pandang dan mampu mengkaji setiap persoalan dari berbagai segi secara mendalam. Lalu pemindahan tali topi dari kiri ke kanan melambangkan bahwa wisudawan harus lebih banyak memaksimalkan penggunaan otak kanan. Harus lebih banyak menggunakan soft skill dibanding hard skill, karena kesuksesan seorang lebih banyak ditentukan oleh penggunaan otak kanan.
Namun yang perlu diingat, wisuda itu sama dengan resepsi pernikahan. Mewah dan meriahnya pesta pernikahan bukan jamin langgengnya perkawinan. Begitu juga dengan wisuda. Meriah dan mewahnya acara wisuda bukan jaminan keberhasilan dalam kehidupan. Usai pesta wisuda, para wisudawan akan hidup di tengah masyarakat dan masyarakat akan menilai wisudawan berdasarkan capaian keberhasilan dan kontribusi yang disumbangkan. Mereka tak peduli pada pesta yang pernah diselenggarakan!